Tentang Mamaku

Gak banyak cerita yang bisa diambil dari kita berdua, ma. Mungkin karena sejak kecil kita nggak dekat.  Sepanjang aku dan mama hidup di dunia, mungkin hanya 1/5 waktu yang kita habiskan bersama. Meski begitu, hubungan ibu-anak nggak akan pernah membuat kasih sayang jadi menghilang.

Kalau aku bisa deskripsikan mama dalam satu kata, mungkin aku akan bilang "perjuangan". Kalau mama ditanya aku anak seperti apa, mungkin mama akan jawab "yang gak suka angkat telepon". Meski awalnya mama marah dengan kebiasaanku, tapi kelamaan mama nerima dan menyesuaikan keinginan mama terhadap anak pendiam seperti aku. Aku pun yang sadar bahwa ibu adalah segalanya, mencoba mengeluarkan diri dari zona nyaman dengan membiasakan diri menelepon mama secara rutin. Kita saling menyesuaikan, ma.

Akhir dari kebersamaan kita, chat terakhirku mama gak balas. Telepon terakhir dari mama gak keangkat. The last call. Setelah mama nggak ada, jujur aku merasa cukup kuat karena terbiasa ditempa untuk belajar hidup mandiri, sendiri. Aku juga meyakini kepergian mama dengan cara seperti ini adalah takdir dari Allah. Takdir yang tidak bisa ditolak, takdir yang telah tertulis sejak kita semua belum ada di dunia ini. Aku nggak pernah ingin bersedih di balik kata 'seandainya', karena bagaimanapun, takdir ini pasti terjadi dan waktu tidak akan pernah kembali. Meratapi pun bukan hal yang bisa membantu mama setelah mama pergi.

Aku hanya sedih karena kita gak sempat kumpul, aku belum sempat bahagiakan mama. Mungkin aku gak bagus dalam berkata-kata, pun juga dalam menyampaikan perhatian. Tapi selalu tertanam dalam lubuk hatiku yang terdalam, kalau aku harus membuat mama senang, terutama nanti kalau mama pulang. Aku pengen manjakan mama dengan kebahagiaan dan harta. Kalau diuraikan dalam kata-kata, mungkin begini, "ini loh ma hasil kerja mama capek capek di luar negeri. Anak mama bisa kasih mama semua kebahagiaan dan kenyamanan yang sebelumnya belum mama dapatkan."

Tapi, kepergian mama memutus itu semua. Memutus harapanku di masa depan untuk membahagiakan mama dengan hasil kerja kerasku. Mama pergi ketika tanggung jawab mama sudah selesai, tapi hak mama belum benar-benar tercapai. Hak untuk mendapat kasih sayang dan service dari anak-anak yang mama besarkan. Ini menyakiti hatiku, ma.

Beberapa hari ini, aku mencari tahu, cara membalas budi dan menebus dosa pada orang tua yang telah tiada, terutama ibu. Satu-satunya cara adalah doa. Hanya doa yang mama bisa dengar di alam sana. Tulisan ini pun tiada berarti karena mama gak akan tau aku lagi nangis disini. Rintihan doa memohon kebaikan dan ampunan untuk mama lah yang hanya akan sampai. Atas hal ini, aku berterimakasih sama Allah karena setelah kepergian mama pun, masih ada hal yang bisa aku lakukan buat mama sebagai anak. Biasanya aku yang minta doa, sekarang aku yang akan berdoa buat mama.

Semoga mama bahagia di sisi Allah SWT.

Aamiin.

Quality Gap Manusia Indonesia

          

          Bukan Kerjaannya yang Gak Ada, Tapi Quality Gap yang Besar Banget di Manusia Indonesia

          Emang Iya?

          Tadi siang aku baru aja nonton videonya ci Feli di channel Youtubenya, Felicia Putri Tjiasaka. Di video dengan judul 'Cerita 100Juta/Bulan Pertama' itu, ada satu kalimat yang dimention ci Feli dan menjadi salah satu 'point of interest' aku disitu.

          "Aku ngobrol dan ketemu sama teman-teman, dan mereka cerita kalo aset dan penghasilan mereka segitu-segitu aja. Mana cari kerjaan susah!

          Padahal di sisi lain, aku secara personal dan juga di Ternak Uang lagi nyari banyak orang, tapi susah banget nyari yang kualitasnya sesuai. Dari sini aku berpikir, mungkin bukan kerjaannya yang gak ada, tapi quality gap yang besar banget di manusia Indonesia."

              Hmm..

          Bener gak sih? Padahal.. banyak banget kan lulusan sarjana di Indonesia yang tentunya gak sembarang orang bisa lulus dan meraih gelar sarjana tersebut, dalam artian, mereka ini orang-orang berkualitas lho. Tapi kenapa, yang namanya mencari kerja itu susah ya, di Indonesia?

          Aku juga jadi keinget sama obrolanku dengan atasanku beberapa hari ke belakang. Konteks obrolan kita ini obrolan santai ya, jadi kita lagi ngobrolin hal secara umum, lalu masuk ke topik tentang sumber daya manusia. Kenapa ya, ada orang-orang tertentu yang susah cari kerja, yang level pekerjaannya 'stuck', dan yang bisa terus menerus berkembang? Hal itu kan berpengaruh banget terhadap perjalanan karir, ilmu pengetahuan, juga level keuangan mereka di masa depan. Sebenernya, kondisi apa yang bisa menyebabkan terjadinya gap antara orang yang terus melangkah maju dan orang yang berdiri di tempat?

          "Mungkin itu perpaduan antara kesempatan dan keberuntungan." ucapku waktu itu, menyimpulkan sementara. Tapi sesaat setelah mengucapkan itu, aku merasa kalo, "loh tapi kok gak adil ya. Dua hal di atas kan masuknya ke faktor eksternal. Masa keberhasilan kita ditentukan oleh faktor eksternal aja sih?"

          Dari situ aku berpikir berdasarkan fakta di lapangan. Beberapa waktu lalu, ada beberapa orang kandidat yang dipilih untuk mengisi sebuah posisi di perusahaanku. Mereka berasal dari latar belakang pendidikan yang sama, non-experienced, dan bahkan mungkin bisa dibilang, latar belakang keluarga dengan strata sosial yang sama. Tapi diantara mereka, ada yang dapat belajar sangat cepat dan sangat berinisiatif, bahkan dipromosikan untuk menjadi pemimpin, dan ada yang tetap pada pekerjaannya saja, sekedar mengerjakan sesuai SOP. Gak ada yang salah dari mengerjakan sesuai SOP, tapi melihat sebagian orang yang bisa bereffort lebih sampai dapat membuat atasan melirik, tentu saja bekerja ala kadarnya membuat orang-orang tersebut berpotensi stuck dengan posisinya saat itu.

          "Nah, orang yang kayak gitu tuh emang gak banyak." kata atasanku.

          Hmm iya juga. Gak banyak orang yang memiliki kesadaran untuk mengembangkan dirinya sendiri, entah dengan cara apa. Ada yang memiliki kualitas seadanya, hanya bekerja sesuai kadarnya, tapi menginginkan gaji orang yang bekerja dengan effort luar biasa. Orang-orang seperti itu, jujur saja aku banyak melihat juga contoh nyatanya. Mungkin faktor kesempatan dan keberuntungan juga berpengaruh bagi orang-orang yang berkualitas namun tempat mereka bekerja tak memberi mereka 'lahan' untuk berkarya. Setidaknya orang-orang berkualitas itu pada akhirnya akan menyadari kesempatan yang tidak mereka dapatkan tersebut dan melakukan sesuatu hal lain untuk meraihnya. Beda lagi dengan orang-orang yang merasa tidak diberi kesempatan, kemudian mengeluh dan tidak melakukan apa-apa. Dalam hal ini, 'keinginan' dan 'keingintahuan' menjadi sebuah gap yang amat besar diantara sumber daya manusia yang ternyata sebegitu berpengaruhnya terhadap karir atau masa depan seseorang. Padahal, dari sebuah keinginan dan keingintahuan saja, dapat membuat seseorang menjadi manusia berkualitas yang ternyata dibutuhkan industri yang selalu berkembang.

          Mungkin pembentukan karakter dalam keluarga, akses informasi dan ilmu pengetahuan, sistem pendidikan yang tidak tepat, atau banyak hal lain juga menjadi faktor mengapa seseorang nggak bisa memiliki kesadaran untuk mengembangkan dirinya. Tapi kalau ditelaah lebih dalam,

Orang yang ingin maju akan selalu menemukan solusi dalam setiap masalah yang dimiliki,
tapi orang yang suka mengeluh akan selalu menemukan masalah dalam setiap solusi yang ada.

          Artinya, kualitas seseorang sebagian besar ditentukan oleh orang itu sendiri. Teman-teman Blogger, setuju pendapat ini?