Bertumbuh

 "Pagimu yang terluka, malammu yang menyiksa
Hal yang ingin kau lupa, justru semakin nyata
Mengunci ingatanmu, menahan masa lalu
Memori yang membisu, harapan yang berdebu.."

"Tak ada yang seindah matamu
Hanya rembulan
Tak ada yang selembut sikapmu
Hanya lautan
Tak tergantikan
Walau kita tak lagi saling menyapa"


"Cukupkanlah, ikatanmu
Relakanlah yang tak seharusnya untukmu.."


Setiap bait lagu yang melantun melalui earphone di telingaku, membangkitkan memori-memori masa lalu yang begitu membekas di ingatan. Setiap lirik yang kuhayati semakin menambah rasa sakit, begitu sakit, karena sialnya semuanya adalah kenyataan pahit yang harus kuhadapi.

Lirik dan melodi yang mengalun, menari-nari mempermainkan perasaanku yang kacau. Hatiku, yang aku sebenarnya tidak tahu seperti apa wujud fisiknya, aku bayangkan sedang ditusuk-tusuk ribuan jarum karena terasa amat sangat sakitnya.

Detik ini, ketika aku mendengar lagu-lagu ini, bukan hanya memori sakit yang terpanggil dalam ingatan, tapi aku seakan melihat diriku di masa lalu. Aku begitu kasihan. Sarah yang sendirian, tak stabil mental, menghadapi jutaan masalah di dalam kepala kecilnya, membuang setiap waktu memproses rasa sedih, meratapi hidupnya yang ia pertanyakan mengapa harus ada jika harus berulang kali dihantam rasa sakit, oleh orang lain, oleh dirinya sendiri.

Kebingungan dalam kepalanya, pertanyaan yang tidak tahu harus ia tanyakan pada siapa, air mata yang tak pernah absen hadir di hari-harinya, dan badan yang semakin kecil tak bisa berbohong bahwa kehidupannya bukan lagi kehidupan anak sekolah yang membuatnya bahagia.

Kepada setiap orang ia bertanya, tapi tak kunjung mendapat jawabannya. Sampai hari di mana ia cuma bisa menerima kalau takdir tidak seperti yang ia mau. Bahkan ia dipaksa hidup berdampingan dengan rasa sakit, dipaksa menerima setiap rasa sakitnya tak selalu dipedulikan dengan kata maaf dari sang penyebab sakit.

Hingga ia tumbuh menjadi dirinya yang sekarang, berusaha menyembuhkan setiap luka yang terlanjur terbuka dengan setiap jahitan. Kini ia lebih berpasrah, mungkin saking terbiasanya ia dengan harapan yang musnah.