Satu Hari Putih Biru

          Sambil menangis dan hidung yang tak berhenti meler, aku menggas motorku menembus hujan gerimis di Jalan Ganesa. Jalanan yang di sekelilingnya dipenuhi pohon-pohon besar membuat suasana sedihku di sore itu sempurna. Aku menangis cukup lama dan dalam, namun suaranya mungkin tak terdengar. Hujan gerimis membantuku menyembunyikannya dengan elegan. Jadi kalau ada yang memergokiku menangis dan bertanya kenapa, bilang saja "ini mah air hujan".

          Kenapa aku menangis? alasan klasik, merasa sendirian. Saat itu aku sedang merasa bahwa aku adalah tipe orang yang loyal dan tulus untuk orang-orang yang aku tahu pantas menerimanya. Tapi disaat aku butuh sandaran dan teman ngobrol, yang bahkan bukan untuk aku curhati, tapi hanya untuk mengalihkan isi pikiranku yang mumet, tiada seorangpun. Aku bukannya mengharapkan timbal balik atau imbalan dari ketulusanku untuk orang lain, tapi, kenyataan bahwa sebenarnya tidak ada seseorang yang benar-benar peduli kepada satu sama lainnya, membuatku merasa sedih.

          Sedang kalut dengan pikiranku sendiri, aku melihat wajah yang tampak tidak asing sedang berjalan di trotoar sebelah kiriku. Laki-laki berwajah kalem dengan kemeja biru polo sedang berbincang dan tersenyum pada teman disebelahnya. Aku spontan menyebut namanya.

          "*sensor*!"

          Aku benar-benar shock sekaligus senang karena kupikir tidak akan pernah melihat dia lagi. Laki-laki yang pertama kali membuat aku kepikiran tentangnya siang dan malam tanpa tahu mengapa. Laki-laki yang membuatku hampir melabrak egoku sendiri karena ingin membuat dia tahu kalau aku menyukainya. Saat itu aku hampir menyatakan cintaku pada laki-laki itu. Setiap malam aku galau, berpikir keras sambil menatap dan membaca ribuan kali sejumlah teks yang sudah kutulis di SMS, hanya tinggal menekan tombol 'kirim' maka terbongkarlah semua rasaku saat itu.

          Tapi batal, aku batal melakukannya. Aku tahu dia tidak akan menerimaku. Bukan karena dia punya pacar atau apa, dia bukan laki-laki yang seperti itu. Dia bukan laki-laki yang mau pacaran. Sementara aku juga tidak ingin berbohong dengan menyatakan perasaanku tanpa mengatakan bahwa aku ingin dia menjadi pacarku. Aku tidak ingin membuatnya tidak nyaman dan terjebak dengan situasiku. Aku se-sayang itu padanya.

          Bahkan ketika aku sudah menghapus tentang semua laki-laki yang pernah ada di hatiku dan membuang mereka mentah-mentah, hanya dia. Hanya kepada dialah aku tetap menaruh respek, walau mungkin perasaan sebagai perempuan ke laki-laki sudah hilang dimakan waktu. Hanya kepada dia, seandainya aku punya kesempatan, aku akan berani mengakui kalau dulu aku pernah suka padanya sampai memikirkannya setiap malam dan berniat menyatakan perasaan. Karena aku tahu dia orang yang pantas, orang baik. Orang yang tidak akan menganggap rendah perasaan orang lain walau ia tidak memiliki perasaan yang sama.

          Ah, rasanya ingin sekali menyapanya dan mengobrol panjang dengannya. Ketika aku melihatnya di trotoar tadi, ingin aku bertanya apakah dia mengingatku? apakah dia ingat saat-saat di kelas waktu itu? Duh, aku mendadak rindu suasana kelas siang itu.

          Tangisanku berhenti. Ada perasaan sedikit senang yang muncul di hatiku, yang anehnya walaupun sedikit, tapi kesedihanku seperti hilang seluruhnya. Kulanjutkan perjalananku, menembus hujan yang seperti mendukung pikiranku untuk kembali ke masa lalu. Ke masa dimana aku tidak sadar bahwa yang kulalui hari itu adalah hari yang akan ku ingat hingga aku bertemu kembali dengannya, hari ini. Satu hari di mana dia dan aku masih memakai baju yang sama setiap hari, baju putih biru.