Hari Tua

Memikirkan hari tua, mungkin umumnya bagi sebagian besar orang adalah gambaran di mana kita tinggal di sebuah rumah dengan pasangan hidup, menanti anak-anak berkunjung bersama cucu. Menyiapkan mereka makanan, menyayangi cucu kita, dan bercanda gurau bersama. Ya, hidup 'sempurna' yang diinginkan semua orang.

Mungkin gambaran umum ini juga menjadi hal yang aku inginkan. Kenapa aku bilang mungkin? karena bisa jadi pandanganku berubah nantinya, toh sekarang juga aku baru pertengahan 20-an. Masih banyak hal yang belum aku lihat di luar sana.

Satu hal yang aku pikirkan saat ini, bahwa kehidupan memang kadang imajinatif tapi lebih sering realistis. Satu-satunya pengharapan kita hanya kepada Allah. Berperasangka baik adalah kewajiban dan meyakini bahwa Allah akan mencukupi juga sebuah keharusan. Tidak ada bantahan akan hal tersebut.

Hanya saja, mengenai hidup yang realistis, mungkin ada kalanya kita berpikir bahwa tidak selamanya hidup akan selalu pelangi pun langit tak akan selalu biru. Itu hukum alam, karena kita sedang berada di dunia yang sifatnya sementara dan fana.

Tentang hal tersebut, aku berpikir soal hari tua. Mendambakan keluarga cemara bahagia selamanya sungguh sebuah keharusan. Tapi bagaimana jika kita tidak menggantungkan kebahagiaan dan harapan kita pada sesuatu hal yang sifatnya dalam beberapa hal berada di luar kontrol kita?

Hari tua di mana kita mayoritas sudah kehilangan lebih banyak energi dibandingkan masa muda, membuat kita lebih mungkin untuk membutuhkan orang lain. Siapa ketika itu yang dapat menjadi harapan kita untuk dapat dibersamai? pasangan kita tentu saja menjadi harapan pertama. Namun lagi lagi, jika bukan karena usia, banyak sekali kemungkinan lain yang mungkin membuat pasangan kita sudah tiada lagi bersama kita. Bagaimana dengan anak kita? Seberapa besar pun ego kita untuk berpikir bahwa seharusnya anak membalas budi, atau akan membalas budi ketika kita sudah tua, pada dasarnya mereka semua hanyalah titipan Allah. Mereka pun akan memiliki kehidupannya masing-masing. Mungkin juga sedang merajut angan-angan untuk usia di mana mereka nantinya mencapai usia orang tuanya saat ini.

Berpikir bahwa semua tamparan ini membuatku berpikir realistis, lebih realistis lagi, karena logika dan otak ini lebih sering tidak menipu dibandingkan hati. Adakah mereka yang juga memikirkan untuk memiliki masa tua di panti jompo ekslusif? bersosialisasi dengan para lansia yang telah melewati berbagai masa di hidupnya. Memasukkan diri sendiri ke panti jompo tersebut. Jika punya anak, lebih menyenangkan untuk menjadi tidak merepotkan. Jika tidak punya pun, rumah masa tua ini juga bagus untuk jadi pilihan.

Terdengar keras memang. Tapi ini tidak lebih keras daripada baru sadar dan ditampar kehidupan di usia yang seharusnya kita sudah diberkahi ketenangan dan fokus berserah kepada Tuhan.

Setidaknya pilihan itu ada. Persiapan itu ada. Tetapi tetap satu yang menjadi keyakinan dan sandaran hidup. Bukan pasangan, bukan anak, atau siapa pun yang dirasa paling dekat. Hanya Tuhan tempat berharap dan meyakini kepastian.

Fenomena Belakangan Ini

Banyaknya berita yang berseliweran belakangan ini, bikin capek mata yang baca dan telinga yang dengar gak sih? 

Wkwkwk.

Sempat terlintas dalam pikiran gue, kalo mau nyari sumber berita yang isinya positif semua, harus subscribe platform apa ya? hmm. Tapi kayaknya sih, ya gak ada juga. Tinggal pilah pilih sendiri aja yang mana yang mau dikonsumsi dan mana yang tidak.

Berita yang mungkin mayoritas isinya tentang kehidupan pribadi orang lain, bener-bener menuhi beranda. Gila. Bahkan akun-akun yang gue follow dengan tujuan semata-mata untuk informasi yang betulan informatif, sekarang lagi ngeberitain si motivator yang poligami diem-diem. Ya Rabbi. Ada pulak segala berita suami orang yang bikin tatto di badannya dan gambarnya adalah gambar istri orang. Ya Allah.

Gimana ya, di zaman kayak gini kan segala jenis informasi emang mudah banget didapetin. Ketika kita gak niat cari pun, tiba-tiba berita itu nongol aja dan tau-tau masuk ke kotak informasi di otak kita. 

Tapi ada sedikit hal yg menggelitik sih. Tuh kan, gue yang tadinya muak dan males terpapar sama berita-berita negatif (semata karena gue udah fusink sama hidup gue sendiri) mau gak mau ya jadi tau. Untungnya sih, gue tahu berita ini dari seorang pakar branding yang gue ikutin di Instagram. Beliau juga ngebahasnya bukan dalam konteks ngegosip, tapi justru dari sisi branding yang dilakukan sama si tersangkanya netizen ini, si motivator. Jadi si motivator ini tuh personal branding awalnya ngangkat kisah-kisah melodrama dari kehidupan nyatanya, di mana dia tuh baru nikah sama istrinya dan langsung kelilit hutang 7M-an dan keserang penyakit entah apa yang bikin si motivator kurus kering parah.

Nah dari cerita melodrama itu, di titik di mana dia udah sustain sekarang, tiba-tiba beritanya dia poligami diem-diem buat ngawinin istri yang lebih muda. Nah hancurlah kan segala kisah yang dia bangun selama ini. Dia yg bangun, dia yg hancurin. Gitu lah kira-kira singkatnya soal permasalahan branding yang dibahas. 

Jujur kalo dibahas dari sisi personal branding tersebut, hal itu menarik banget sih. Bukan persoalan gosipin orang ya, tapi ngambil pelajaran dari personal branding yang dilakukan orang lain. Ya gitu lah pokoknya. 

Tapi di sini gue bukan mau bahas itu. Gue di sini mau ngomong bagian-bagian 'receh' yang mungkin ngangkat sudut pandang gue sebagai wanita. Yah.. ada gunanya apa engga, let's see dulu lah ya.

Jadi, dari semua kasus ini, gue liat salah satu postingan sebuah akun media yang juga ngomongin soal si motivator ini. Kurang lebih kalimatnya, 

"Stereotype-nya jangan mau nemenin cowok dari 0."

Ada sih lanjutannya, cuma gue males aja nulis dan nerusin. Karena intinya itu, dan itu juga yang mau gue omongin.

Gak bermaksud pickme tapi jujur gue bingung aja sih, kenapa kalo ditemenin dari zaman bobrok, cowok mayoritas kecenderungannya malah lari nyari yg baru pas dia udah di atas langit? Kayaknya secara logika aja udah gak masuk kan? Ada orang yg mau nemenin lo dari zaman lo kayak tai, tapi pas si tai udah berubah jadi emas, malah nyari orang baru. Padahal kalo orang baru itu ngeliat lo sebagai tai waktu dulu, belum tentu dia mau. Ya kan? But.. gak usah kecewa, karena kenyataannya emang demikian.

Mungkin balik lagi ke persoalan ego cowok yang meletup-letup kayak aer mendidih, dia berasa terakui keberadaannya --yang sebenarnya cuma oleh dirinya sendiri-- dengan bisa mendapat lebih dari yang dia punya sebelumnya. Jadi ini cuma persoalan ego? gue rasa secara psikologis, mayoritas adalah demikian. Gue gak bilang kalo semua cowok ya, dan bahkan cewek pun pasti ada aja yang memiliki kecenderungan untuk begini. Gue cuma ngomongin mayoritas, itu pun dari sudut pandang gue.

Jujur ini semua gak masuk akal bagi gue. Menurut pemikiran gue, justru bertumbuh bareng dan setia satu sama lain tuh romantis banget. Dan lagi, berjuang bareng itu kan memperkuat ikatan dan koneksi antara satu sama lain gak sih? Apa lagi kalo konteksnya untuk pasangan hidup selamanya. Lo harus punya keterikatan lebih daripada sekedar naksir muka cakep atau bodi asoy. It doesnt long last.

Balik lagi ke kenyataannya, ya enggak kayak gitu. Walaupun gue gak suka, tapi ya kenyataannya begitu. Gue yakin masih ada cowok-cowok lain di luar sana yang beda dan unik. I know that. Allah will give me. Tapi ya gue capek aja denger berita aneh-aneh ini. Dan ya, sadly, these shits are a hard truth.

Jadi buat cewek-cewek di luar sana. Gue sih gak akan mengkritisi keputusan atau pemikiran lo kalo emang lo ternyata sekarang lagi nemenin cowok lo dalam kondisi 0 atau bahkan minus ya. I do support women. Gue cuma pengen sharing aja kalo hal kayak gini emang ada, dan better to build yourself as hard as you can, and expect everything only to God's hand. Ya gitulah, pokonya banyak bersiap aja. Inget, nanti kita di surga ga bakalan bingung, kalo kata bang Aldi Taher. Gapapa sekarang bingung, itu artinya kita emang cuma manusia biasa yang butuh Allah. Semoga kesehatan dan kebaikan fisik dan psikis kita senantiasa dalam lindungan Allah, aamiin.