Cerpen : Bahagianya menjadi Serangga (Chapter 2)


          Sulit untuk berhenti memikirkan segala hal. Terutama ketika tiada siapapun disisimu. Aku bertanya-tanya mengapa Tuhan menganugerahkan perasaan jika yang bisa kurasakan dengannya hanyalah kesengsaraan. Aku memaki diriku karena menjadi seperti orang yang tidak bersyukur kepada-Nya. Tapi semakin mencoba untuk melihat sisi baik, sisi buruk selalu semakin banyak terlihat, membuatku kecewa. Seketika kehampaan menyerang, air mata bukan lagi sesuatu yang dapat kusembunyikan. Hal ini lumrah. Aku menangis.

 ***
          Hari ini kakak bilang akan datang berkunjung. Sialnya, aku yang tidak ada dirumah. Padahal berada dekat dengan kakak sering membuatku merasa lebih tenang. Aku ada pekerjaan dengan Jay dan Alex, kami harus menggubah lagu untuk penyanyi terbaru agensi kami. Walau begitu, aku senang karena akan bertemu teman-temanku. Bagiku, mereka seperti obat bagi kehampaan jiwaku yang selama ini selalu membuatku kesulitan.

          Jay dan Alex bilang setelah pekerjaan selesai mereka ingin berkunjung ke rumahku. Dengan senang hati aku mengabulkan permintaan mereka. Tapi tiba-tiba, boss memberi mereka pekerjaan tambahan. Aku bisa maklum. Mungkin kunjungannya bisa mereka lakukan besok, atau lusa, atau lain hari, entahlah.

          Akhirnya aku terkubur dalam kesepianku lagi. Keberadaan orang-orang memang hal yang paling membantu dalam menyingkirkan kesedihan, namun aku masih punya gitar dan buku-buku. Ini juga sedikit menghilangkan kekecewaanku pada diriku sendiri, setidaknya aku mengetahui aku bisa melakukan sesuatu yang berguna.

 ***
          Suatu ketika, aku sedang memainkan sebuah alunan nada dengan gitarku, menatap langit-langit kamar sambil merancang lirik untuk laguku selanjutnya. Aku memerhatikan setiap hal kecil yang ada di kamarku. Mobil-mobilan, bantal, lemari. Ruangan ini seakan menyekapku dalam kesepian yang dalam. Aku merasa benar-benar menyedihkan.

          Kulihat semut-semut di lantai, mereka bekerja sama saling membantu membawa sisa-sisa makanan. Jumlahnya tidak begitu banyak, tapi sepertinya ada sebagian yang membuat lubang semut di tembokku. Mungkinkah semut itu berkeluarga seperti manusia? kurasa begitu, melihat kerjasama mereka, bahu membahu demi membawa sebuah makanan yang ukurannya tidak sebesar jari. Mereka saling membantu, mereka saling peduli. 

           Tanpa sadar aku jadi memperhatikan mereka. Aku cemburu tapi sekaligus ingin tertawa. Haha. Bahkan semutpun berpasang-pasangan. Mungkin mereka saling mencintai, membangun keluarga dan menghabiskan malam minggu dengan minum-minum bersama istri-isfri mereka. Betapa bahagianya. Sementara aku? Aku tidak bisa merasakan kehangatan itu. Aku bahkan dengan menyedihkan mencemburui sepasang semut. Dasar bodoh.

         Melihat semut-semut itu, aku jadi teringat semua sahabatku. Mereka saat ini sedang sibuk dengan karir mereka masing-masing. Aku sangat senang dan tentu mendukung mereka sepenuh hati, tapi di sisi lain aku seperti seorang egois yang menginginkan mereka untuk tidak terlalu sibuk dan menemaniku melewati kesendirian ini. Aku ingin mereka kembali, seperti dulu, tapi aku sadar, kehidupan ini tidaklah sama lagi. Setiap hal berubah, setiap hal berganti. Aku harus menerimanya.

         Banyak berpikir begini membuatku pusing juga mengantuk. Aku sering tertidur tanpa sengaja saat sedang membaca buku ataupun ketika merenung menatap langit-langit kamar. Suatu hari aku juga ingat kalau aku tertidur, lalu terbangun oleh gigitan seekor semut di bibirku. Aku langsung teringat akan koloni-koloninya, itu membuatku tidak ingin membunuhnya. Aku hanya melepaskannya dari bibirku dan meletakannya sembarangan. Semut ini harus kubebaskan.

***
          Pekerjaanku kuselesaikan dengan cepat. Kakak akan datang ke rumah hari ini. Aku sudah bergegas pulang, namun tak kutemui siapapun begitu aku sampai. Ini membuatku kesal, namun aku harus sabar. Kakak sedang berjuang bertahan bersama suaminya yang sakit jiwa hingga tidak mungkin punya banyak waktu untuk mengunjungiku. Aku hanya harus mengerti. Ya.

          Aku kembali ke kamar. Kutatap buku-buku lusuh yang kusimpan di ujung bantal. Mungkin aku akan membaca kembali buku berjudul 'Heaven' yang sebelumnya sudah kubaca tiga kali. Aku tidak tahu apalagi yang bisa membantuku menghindar dari lubang hitam dalam pikiranku yang seakan menghisapku masuk setiap saat. Buku ini akan sedikit membantu lagi, sepertinya.

          Belum sempat aku mendekat ke kasur untuk mengambil bukunya, entah bagaimana ada seekor kecoak terbalik di hadapanku. Fuh! Kamarku sudah seperti kandang serangga saja. Sebetulnya aku agak jijik dengan kecoak, tapi kurasa menjadi kecoak bukanlah pilihannya, mungkin jiwa yang ada dalam kecoak itu juga tidak menginginkannya. Aku tidak berhak merasa jijik padanya. Berbeda denganku, aku manusia yang bisa memilih, namun aku memilih menjadi pecundang dengan merengek kasih sayang pada kakak. Memalukan. Aku pantas mendapat hukuman.

          Kubantu kecoak itu membalikkan tubuhnya dengan tongkat sapu. Setelah terbalik, ia langsung berlari.

***
          Jay datang berkunjung kerumah. Dia muncul dengan celana pendek aneh dan rambutnya yang dicat abu terlihat berantakan. Tapi seperti biasa, dia datang dengan senyum lebar berteriak memanggilku seperti orang gila, padahal kita ada di tempat yang sama.

          Kami melakukan karaoke di kamarku, melepas penat dengan memutar lagu-lagu Michael Jackson yang legendaris. Sambil menatap jendela, kumainkan gitar dan kubiarkan Jay menyanyi sepuas hati, walau suaranya begitu sumbang. Jay bilang padaku untuk memainkan lagu favoritnya, 'Te Amo', yang diterjemahkan dari bahasa Spanyol berarti aku mencintaimu. Aku menurutinya saja. Kemudian kami saling bercerita dan membicarakan hal-hal konyol tapi menyenangkan, seperti biasanya.

          Jay tiba-tiba memutar lagu berbahasa mandarin yang aneh, lalu dia menyuruhku mencari arti dari lirik lagu yang dia play tadi.

          "Kau ini apa sih. Seperti wanita saja, menyelami lirik lagu begini." ujarku meledek Jay.

          "Jika syarat untuk menyelami lirik lagu ini adalah menjadi wanita, maka aku rela." Jay tersenyum penuh arti.

          "Woah.. sehebat itukah?" aku tidak percaya. Jay si anak yang 'gila' ini bisa menjadi begitu melankolis hanya karena sebuah lagu. Cukup mengejutkan, dan.. mengocok perut. :D

          Sambil tertawa meledek aku membaca lirik lagu mandarin itu.

          Oh..

          Tes

          "Hei! kau menangis?" Jay langsung menyadari aku sudah pada tahap ekspresi menyipitkan mata seperti pedih terkena bawang. "Ya Tuhan, jangan bercanda!" Jay langsung mengusap-usap punggungku dan mengelap pipiku dengan tisu yang entah dia ambil dari mana.

          Liriknya mengingatkanku pada Amily. Itu sebabnya.

* * *
          Satu tahun lalu aku putus dengan Amily. Dia meninggalkanku entah kemana. Dia bilang tidak tahan karena keluargaku menekannya, mengatakan bahwa ia tak pantas untuk aku. Aku benar-benar marah terutama pada ayahku yang melakukan intimidasi itu. Sejak itu aku tidak mau menemui ayah lagi, untuk selamanya.

          Sejak dulupun aku tidak pernah menyayangi pria itu, dia hanyalah seorang pengecut yang meninggalkan ibu, aku dan kakak di dalam kemiskinan. Setelah aku dan kakak besar lalu bisa menghasilkan uang banyak, dia tiba-tiba datang dan mengatur hidupku bahkan mencampuri urusanku dan kekasihku. Saat mengetahui itu rasanya aku ingin membunuhnya, tapi aku selalu tertahan dengan pikiran bahwa dia adalah ayah kandungku, walau kenyataan itu membuatku semakin marah. Terlebih lagi, ibuku yang terlalu baik hatinya, memohon padaku untuk membiarkan saja bekas suaminya itu pergi tanpa perlu ada adegan kekerasan terlebih dahulu. Bagaimanapun, amarahku tidak lebih besar dari rasa sayangku pada ibu. Aku menurutinya.

          Kepergian pria itu juga dibarengi dengan perginya Amily. Dia menghilang begitu saja bagai telah dikubur bumi. Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa hancurnya perasaanku, harus berpisah disaat perasaanku masih membuncah. Bagaimana bisa ketidakadilan ini terjadi padanya? dan bagaimana aku sebagai seorang pria bisa membiarkan orang yang kusayangi tersakiti sampai seperti ini? aku menanyakan pertanggungjawabanku sendiri sebagai seorang lelaki.

          Berkali-kali aku mencoba menenangkan diriku sendiri. Aku rasa tidak apa-apa untuk bersedih hari ini, esok hari pasti akan kembali cerah. Aku bukanlah robot yang harus memaksa diri untuk terus bahagia setiap hari. Namun nyatanya kemuramanku tak pernah usai. Langit gelap dan hujan badai seperti tak kunjung pergi. Di waktu-waktu ini, aku sangat membutuhkan ibu, namun Tuhan mengambilnya pada saat yang tidak tepat. Kurasa itulah yang membuatku merasa semakin tidak baik. Tapi aku berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa aku akan baik-baik saja. Aku, akan baik-baik saja.

***
          Kau tahu apa yang paling buruk dalam upaya menghadapi kesulitan ini? Orang-orang meremehkanku. Awalnya aku berpikir bahwa aku bodoh jika terus menyimpan segalanya sendiri, karena itu tidak membantu sama sekali. Tapi kenyataannya, setelah aku mencoba bercerita pada kakakku, ya, kakakku, orang yang tumbuh dan hidup bersama denganku selama 23 tahun lamanya, berujung pada perasaan yang menyakitkan. Dia berkata bahwa aku mengisolasi diri dengan perasaan-perasaan berlebihan yang tidak pantas untuk orang seusiaku. Dia berkata bahwa aku harus melihat orang-orang dibawah kami yang membutuhkan, yang hidup di kolong jembatan. Aku harus bersyukur. Jadi perasaan-perasaan itu harus kubunuh, katanya, tapi dia tidak memberitahuku bagaimana caranya.

          Oh, benarkah begitu? Hatiku pedih lagi. Sedangkal itukah pemikiranmu terhadapku kak? Kau pikir aku adalah seorang brengsek yang tidak tahu bersyukur? Kupikir kau adalah orang yang paling memahamiku karena kita pernah sama-sama tinggal di rahim ibu. Kupikir 23tahun kita bersama kau sudah hapal betul bagaimana diriku. Apakah bijak membandingkan hidup seseorang dengan hidup orang lainnya? Apakah setiap yang orang lalui selalu sama, sehingga begitu mudah kau banding-bandingkan?

          Cukup mengherankan saat aku mengritik habis-habisan sikap kakakku dalam hati, seolah aku tahu bagaimana sikapnya seharusnya menghadapi adik sepertiku. Padahal aku sendiri tidak tahu bagaimana mengatasi perasaan ini, disaat aku menuntut ia untuk melakukannya. Mungkin,ini salahku lagi.

***
          Berbulan-bulan aku tetap pada perasaan yang sama. Kutatap mobil-mobilan mainan di meja lampuku. Mobil-mobilan model Jeep itu telah melindas seekor semut pada saat gempa terjadi beberapa hari lalu, sebelum akhirnya kubebaskan. Sebentar lagi, aku juga akan bebas.

           Ya.

          Baiklah. Hari ini sudah mencapai limitnya. Rasanya semakin sesak saja setiap napas yang kuhirup. Setiap aku bernapas, semakin aku tercekik. Inti jiwaku sudah menerima bahwa aku memang tidak cukup baik, dan aku akan mengakhiri semua penderitaan ini. Aku tidak sanggup menahannya lagi. Kakak, kuharap kau mengerti. Dengan begini mungkin kau akan bisa lebih fokus mengurus suamimu dan kalian bisa hidup bahagia.

         "Kakak, aku harap kau selalu sehat. Aku sudah menuliskan seluruh hartaku atas namamu. Aku tidak perlu berpesan apapun karena aku tahu kau akan menggunakannya dengan bijak. Terimakasih kak, selamanya aku mencintaimu."

Salam."

* * *

Cerpen : A Guy's Gaze (Tatapan Seorang Pria) (Chapter 1)



          "Kami pulangg!" aku dan Bill, anakku, datang membawa makanan yang cukup banyak untuk santapan keluarga kami. Istriku, Anna dan anak perempuanku, Rossy, menyambut kami dengan begitu gembira.

          "Sepertinya ayah dan Bill dapat jackpot!" seru Rossy semangat sambil tak henti menatap makanan yang kami bawa. Tanpa berlama-lama, kami menghidangkan makanan di meja makan dan melaksanakan santap malam. Rasanya bahagia sekali aku melihat wajah-wajah anak dan istriku berbinar bahagia dan dengan lahap memakan santapannya masing-masing. Sebagai seorang ayah, aku merasa berhasil.

          "Mark, dia memperhatikan kita lagi." ujar Anna tiba-tiba membuka pembicaraan. Aku tidak tahu bagaimana harus merespon. Aku sudah hapal betul siapa 'dia' yang Anna maksud.

          Sambil menghela napas, aku menjawab, "Baiklah, aku akan melihatnya selesai makan malam."

* * *
          Aku melihat dari balik pintu, orang itu. Dia terus menerus memperhatikan kami. Aku dan keluargaku memang memiliki mobilitas tinggi, kami setiap hari melewati dirinya yang selalu terpaku dengan tatapan nanar di ujung kursi. Tapi kurasa dia tidak pernah terganggu dengan aktivitas kami. Namun entah mengapa, tatapannya sering sekali tertuju padaku, Anna, Rossy dan Bill. Lama kelamaan aku agak khawatir, mungkinkah dia memiliki niat tertentu terhadap salah satu anggota keluargaku?

* * *
          Ayah dan Ibu sedang pergi. Bill juga. Mereka mungkin bekerja. Aku cukup merasa bosan ditinggal dirumah dengan setumpuk bacaan-bacaan yang harus kupelajari. Aku tidak suka buku-buku ini, aku suka musik, aku ingin menjadi pemusik. Tapi nampaknya orang tuaku sama sekali tidak mengetahui apa yang kusukai, mereka terlalu sibuk bekerja. Aku tidak mampu mengatakan kalau aku menginginkan sebuah gitar, karena hal itu pasti akan memberatkan mereka. Akhirnya, untuk memenuhi hasrat musikku ini, aku hanya bisa menontonnya, orang itu, yang sering terpaku di ujung kursi, dengan permainan gitar akustiknya yang betul-betul menawan.

           Entah sejak kapan dia bisa bermusik, namun yang jelas, setelah kepindahan keluargaku kesini, dia sudah seringkali memainkan musik. Alat musik lain yang dia mainkan, aku tidak terlalu tahu namanya, aku hanya mengingat bunyinya yang menenangkan jiwaku dalam kesendirian.

          Tapi berbeda denganku, selain menyukai musik, dia juga membaca buku. Aku malas sekali membaca buku, sedangkan dia menyukainya, itu bisa kulihat dengan tumpukan buku yang nampak lusuh diatas mejanya yang ia baca satu persatu setiap hari.       

          Ohya, orang itu sering melihat ke arah kami, padaku dan keluargaku. Aku tidak tahu apa yang membuatnya tertarik memperhatikan kami. Tapi, aku sih, senang-senang saja. Toh dia ganteng. Walau kadang membuatku kikuk, tapi aku suka tatapannya. Dia tampan. Ah! jangan-jangan, alasan dia terus-terusan melihat kemari, karena dia.. tertarik padaku?

* * *
          Hari ini Bill tidak bisa ikut bekerja denganku. Ia sedang sakit dan kubiarkan dia istirahat dirumah. Anna ikut bekerja, namun di lain tempat. Rossy membantunya, dan aku senang mendengar anak perempuan kecilku berinisiatif membantu ibunya bekerja.

          Aku kembali bekerja dengan semangat yang bertambah, mengingat keluargaku disana juga bekerja tak kenal lelah. Peluh mengalir bukanlah kendala, yang penting, bagiku, Anna dan anak-anakku bahagia.

* * *
         Sakit yang menderaku benar-benar membuatku terganggu. Bukan, bukan karena rasa tidak nyaman yang menyerang tubuhku, tapi aku lebih memikirkan penyesalanku karena tidak bisa membantu ayah bekerja. Aku tidak bisa berpindah tempat karena sakit ini. Aku hanya berbaring sambil menatap lemah ke luar jendela. Oh Tuhan, tolong cabutlah penyakit yang ada di tubuhku sekarang agar aku bisa kembali pergi membantu ayah yang sekarang pasti sedang kesusahan.

         Sambil merenung aku menatap keluar jendela. Betapa malunya aku, melihat ibu dan saudara perempuanku sedang bekerja diluar sana, bersusah payah demi kehidupan keluarga kami, sementara aku seperti sampah terbaring lemah disini. Ibu dan Rossy bekerja tidak terlalu jauh dari tempat kami tinggal, berbeda dengan ayah yang mengambil pekerjaan di tempat yang agak jauh. Aku bisa melihat setiap gerak-gerik mereka melalui jendela. Jelas sekali ibu berusaha sekuat tenaga mengangkat benda-benda berat itu, membuatku merasa semakin bersalah dengan penyakit ini. Tapi.. dimana Rossy?

         Mataku mencari-cari keberadaan adik perempuanku itu, seharusnya dia ada disana bersama ibu. Tapi, sosoknya tidak dapat kutemukan. Ah! itu dia. Tunggu, apa yang dia lakukan? aku.. benar-benar kaget. Dia.. sedang apa dia?

 * * *
         Ah, tampan sekali orang ini. Sial! seharusnya aku mengetahuinya dari dulu. Rasanya hati ini hampir meledak karena bisa berada pada jarak sedekat ini dengan wajahnya. Oh, kulitnya putih dan bersih. Bulu matanya tegas dan lurus namun tidak terlalu panjang. Hidung yang mancung membuatku ingin meluncur diatasnya. Bibirnya merah muda seperti warna gula-gula yang dibawa ayah pekan lalu untukku. Orang ini, benar-benar sempurna! ternyata inilah tampang asli orang yang selalu memperhatikanku dan keluargaku selama ini. Kenapa aku baru sadar?!

         Aku tidak bisa mengalihkan tatapanku dari wajahnya. Dia sedang tidur. Ini aman bagiku untuk terus memperhatikan wajahnya yang selama ini hanya bisa kulihat dari jauh. Bolehkah... jika aku menciumnya? rasanya ini kesempatan yang pas. Ya, tentu saja. Upayaku membujuk ibu untuk ikut bekerja bersamanya demi bisa lebih dekat dengan orang ini tidak bisa aku sia-siakan begitu saja. Aku.. akan.. menciumnya.

        Mmhh...

* * *
          Tidak terasa pekerjaanku selesai juga. Atasanku menghargai pekerjaanku dengan memberiku beberapa makanan yang kukira cukup untuk keluargaku hingga beberapa hari ke depan. Aku bergegas pulang ke rumah untuk segera memberikan gula-gula ini pada Rossy. Aku juga ingin tahu bagaimana keadaan Bill saat ini, kuharap dia berangsur membaik.

          Ketika hampir sampai di muka pintu, aku terperangah melihat Jack, tetanggaku yang sudah tua renta. Dia terbaring terlentang di jalanan seperti habis dihajar orang. Astaga! aku harus menolongnya! tapi.. orang itu, dia yang selalu memperhatikan keluargaku, ada beberapa langkah di hadapan Jack. Kukira dia baru datang entah dari mana, dia berjalan dan tidak menyadari Jack ada di hadapannya. Ba.. bagaimana ini? apa aku harus berteriak pada orang itu?

          Ah! syukurlah! sebelum aku mengeluarkan seluruh tenagaku untuk berteriak padanya, dia akhirnya menyadari keberadaan Jack yang kesusahan terbaring lemah di jalanan. Dia menatap Jack kosong, tas merah yang digandong sebelah dan dia genggam dengan tangan kanannya, dia ayunkan ke arah Jack. Astagaa!! apa dia akan memukul Jack dengan tasnya yang besar itu? aku tidak sanggup melihat Jack seakan dia akan dibunuh, mataku menyipit karena takut, tapi masih melihat ke arah mereka.

         Orang itu, dia tidak membanting tasnya pada Jack. Dia melempar tasnya ke kursinya. Dia mengambil tongkat di sebelah kursinya, lalu ia menjulurkan tongkatnya kepada Jack, membantu tubuhnya yang kepayahan untuk bangkit. Setelah mampu bangkit, Jack berlari begitu saja melihat orang yang telah membantunya untuk kembali kerumahnya yang tidak jauh dari rumahku. Dasar Jack. Sudah tua tapi tidak tahu berterimakasih. Lagipula, aku baru tahu kalau orang ini orang baik. Yang kutahu darinya, hanyalah rambut merah mudanya yang aneh dan kulitnya yang bersih karena mungkin sering dicuci.
Tak kusangka, anak muda ini baik juga.

* * *
          Anak muda itu, aku tidak tahu siapa namanya. Yang pasti, dia tinggal lebih dulu disini sebelum kami kesini. Malah, kami, aku dan keluargaku, juga Jack, seperti menumpang di wilayahnya. Dia sering keluar rumah dan teman-temannya yang berpostur besar acapkali datang berkunjung. Teman-temannya sama aneh dengannya, celananya memiliki lubang di area lututnya, persis seperti gelandangan yang sering kulihat di luar wilayah ini. Rambut teman-temannya pun beraneka warna, malah ada yang berwarna abu, seperti orang tua, namun dari wajahnya bisa kulihat kalau dia masih muda dan segar. Mungkin itu yang disebut penuaan dini?

           Mereka sangat berisik saat bersama, anak muda itu juga nampak begitu ceria dihadapan teman-temannya. tapi ia selalu membisu dikala dia sendirian. Dia hanya disibukkan dengan gitar dan buku-buku lusuhnya, juga, dengan sibuk memperhatikan kami. Aku tahu ada orang lain juga yang tinggal di wilayah ini, dialah seorang perempuan berambut hitam yang kadang mampir ke tempat anak muda itu. Dari komunikasi yang mereka lakukan, aku bisa tahu kalau perempuan itu adalah saudarinya. Tapi tidak seperti Rossy dan Bill, mereka tidak hidup bersama, bahkan cenderung jarang berjumpa. Mungkin itulah salah satu alasan anak muda itu selalu termenung sedih di kursi merahnya.

* * *
           Aku berusaha sekuat tenaga mengangkat makanan-makanan yang rencananya akan kubawa ke rumah untuk anak anakku. Bobotnya begitu berat, tidak cocok dengan tubuhku yang mulai menua. Aku tidak bisa meminta Bill ataupun Mark datang, karena itu hanya akan menyusahkan mereka. Rossy? rasanya dia terlalu muda untuk bekerja.

           Dalam kesulitanku, tiba-tiba aku merasakan getaran-getaran hebat yang entah darimana asalnya. Ah, aku tau getaran ini. Ini gempa bumi. Aku hampir saja berlari meninggalkan  makanan-makananku, tapi sebuah mobil yang tidak bernahkoda tiba-tiba saja melaju ke arahku dengan begitu cepat. Belum sempat aku menghindar, mobil itu menghantam tubuh rentaku, dan sebagian tubuhku berakhir dibawah roda-roda mobilnya yang keras. Aku bisa merasakan tubuhku, mobil ini tidak berat, tapi aku kesulitan menyingkirkannya dari tubuhku. Aku mencari-cari siapapun yang bisa membantuku tapi nyatanya tidak ada.

           Seseorang tiba-tiba saja datang, dia, pria muda yang sering memperhatikan kami. Dia mengangkat mobil itu begitu saja, seperti seorang ksatria membantu wanita tak berdaya. Aku tidak heran melihatnya, mengingat tubuh pria muda itu memang cukup besar dan kurasa lekukan-lekukan di tubuhnya itu adalah otot. Tapi daripada itu, aku sangat berterimakasih padanya karena telah menolongku, tanpa banyak bicara. Sebagai tanda terimakasihku, aku meninggalkan makanan-makananku untuknya. Setelah aku pergi, kulihat tangannya mengambil makananku untuk kemudian dia kepal erat dengan dua telapak tangannya.

           Dia orang baik.

 * * *
           "Aku pergi dulu, istriku." ucapku lembut pada istriku yang cantik, Anna. Aku mencium bibirnya pelan lalu pergi.

           Ah, anak muda itu memperhatikan kami lagi.

* * *
          Suatu hari, aku melihat anak muda itu berdiri cukup lama di sore hari yang mendung, dia memegang gunting di tangan kanannya. Dia tidak memperhatikan kami lagi seperti biasanya. Aku melihat dia terdiam sangat lama, tatapannya nanar. Entah kenapa aku jadi ingin memperhatikannya saat itu. Anak muda itu tiba-tiba menangis, tapi tak berekspresi. Air matanya mengalir begitu saja tanpa henti. Dia menyalakan sebuah lagu dengan bahasa aneh yang tak kumengerti, yang bisa kutangkap adalah, nadanya sangat suram dan sedih.

          Kemudian dia semakin menangis, kali ini wajahnya menunjukkan kesedihan yang amat dalam. Aku tidak tahu dia kenapa, tapi aku juga tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya bisa memperhatikan gerak-geriknya. Dia meletakkan gunting yang dia pegang sejak lama. Dia mengambil kertas dari tumpukan buku lusuhnya dan menggores-goreskan ujung pensilnya ke atas kertas. Entah menulis apa, aku tidak bisa membaca. Bukan karena letaknya tidak terjangkau oleh mataku, tapi aku memang tidak bisa membaca.

          Cukup lama ia menulis, mungkin berlembar-lembar. Aku bisa melihat, walau dari belakang, pemuda itu menangis sesenggukan. Bahunya terangkat cepat beberapa kali. Punggung tangannya basah menyeka air mata yang entah jatuh karena apa. Aku merasa iba, tapi sekali lagi, tidak bisa berbuat apa-apa.

         Dia akhirnya bangkit. Robekan kertas dua lembar yang penuh dengan tulisan ia genggam dan kemudian dilemparnya ke atas kursinya. Dia mengambil kembali gunting yang tadi, lalu menghadap ke jendela. Posisinya sekarang membelakangiku. Tangisnya yang tadi sudah reda terdengar membuncah kembali. Aku tidak bisa melepaskan pandanganku darinya. Kebaikan yang ia lakukan beberapa hari lalu terhadap Jack, membuatku ingin sedikit lebih peduli padanya. Tapi dalam keadaan begini, tetap saja aku tidak bisa apa-apa. Aku tetap disini di pintu rumahku dan dia si pemuda baik hati itu tetap menangis sedih menghadap jendela.

           BRUKK

           Baru saja aku melamun sebentar, pemuda itu tiba-tiba jatuh terkapar. Dia.. dia sakit? gunting yang digenggamnya terlempar entah ke arah mana. Aku.. benar-benar shock. Kulihat ia terbaring dan tidak bergerak. Aku tidak tahu kalau dia punya riwayat penyakit tertentu sebelumnya. Mungkin dia sesak napas lalu pingsan? yang jelas aku tetap tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya berharap saudari perempuannya itu segera datang, agar jika memang benar pemuda itu terkapar karena penyakit yang dia derita, dia bisa segera ditangani oleh siapapun yang tepat.

          Cukup lama aku terdiam disitu, sembari berkeringat hebat melihat anak muda itu tak bangun-bangun juga. Rasanya aku ingin memanggil seluruh warga wilayah ini untuk membawanya ke pengobatan. Tapi yang ada di wilayah ini hanyalah si Jack tua dan beberapa maniak bertubuh besar yang selalu membuatku takut. Sekali lagi, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Anna dan anak-anakku juga melihat pemuda itu terkapar, tapi mereka hanya bisa terpaku. Aku berdoa sekuat tenaga kepada Tuhan agar Ia mengirim seseorang kemari untuk menyelamatkan pemuda baik hati itu.

          Doaku terkabul. Saudari perempuannya datang sambil menangis-nangis dan mengatakan bahasa yang tak kumengerti. Tangannya menggoyang-goyangkan tubuh pemuda itu dan memintanya untuk bangun. Tak lama, beberapa orang yang memakai pakaian serupa dengan jumlah agak banyak, memboyong tubuh pemuda itu pergi, kurasa ke tempat pengobatan, hingga akhirnya mereka berlalu dan aku tidak bisa melihat mereka lagi.

 * * *

          Beberapa hari, hampir satu minggu, pemuda itu tidak kembali ke wilayah ini. Kurasa dia tidak pindah, karena barang-barangnya masih tetap ada disana, di sebrang rumahku, dengan posisi yang sama sekali tidak berubah sejak ia dibawa pergi beberapa hari lalu.
       
          Tak kusangka, aku merasa kehilangan. Pemuda yang setiap hari memperhatikan kami sejak kepindahan kami kesini, tidak berada lagi di tempat yang sama dengan kami. Tak kusangka juga, Rossy menangisi pemuda itu. Anna nampak mengkhawatirkannya, dia bilang pemuda itu orang baik. Bill tidak bereaksi, dia hanya terlihat kesal pada Rossy yang menurutnya menangis berlebihan.

* * *
          Beberapa bulan berlalu. Aku masih bekerja keras untuk kehidupan keluargaku. Pemuda itu tak pernah kembali. Juga saudari perempuannya. Aku tidak hanya kehilangan, aku benar-benar sedih. Tempat ini menjadi semakin sepi. Jack menghilang entah kemana. Walaupun dia tua, kaki-kakinya bergerak lebih cepat daripada kami. Mungkin dia kabur ke antah berantah, mencari istri lagi.

          Satu minggu dua hari setelah perginya pemuda itu, temannya yang berambut abu sempat datang ke wilayah kami. Dia hanya terdiam dengan wajah datar, mengambil beberapa barang pemuda itu, kemudian dia pergi lagi dan tak pernah kembali.

* * *

          Karena lingkungan itu semakin sepi, aku memutuskan membawa keluargaku pergi dari tempat itu. Kami sama-sama mencari lingkungan yang memiliki lebih banyak warga. Itu juga kulakukan agar Rossy bisa melupakan pemuda itu, yang tak berhenti ia tangisi setiap hari. Pemuda itu tidak pernah kembali, setelah setahun lalu aku terakhir melihat tubuh lemahnya dibawa pergi orang-orang berseragam itu.

          Satu yang kusesali, adalah mengapa aku tidak mencoba lebih dekat dengannya, dan mengapa aku tidak bisa membantunya sama sekali saat ia pertama kali terkapar saat itu.

          Pemuda, maafkan aku.
* * *

BACA : Chapter 2 >>Bahagianya Menjadi Serangga