Cerpen : Bahagianya menjadi Serangga (Chapter 2)


          Sulit untuk berhenti memikirkan segala hal. Terutama ketika tiada siapapun disisimu. Aku bertanya-tanya mengapa Tuhan menganugerahkan perasaan jika yang bisa kurasakan dengannya hanyalah kesengsaraan. Aku memaki diriku karena menjadi seperti orang yang tidak bersyukur kepada-Nya. Tapi semakin mencoba untuk melihat sisi baik, sisi buruk selalu semakin banyak terlihat, membuatku kecewa. Seketika kehampaan menyerang, air mata bukan lagi sesuatu yang dapat kusembunyikan. Hal ini lumrah. Aku menangis.

 ***
          Hari ini kakak bilang akan datang berkunjung. Sialnya, aku yang tidak ada dirumah. Padahal berada dekat dengan kakak sering membuatku merasa lebih tenang. Aku ada pekerjaan dengan Jay dan Alex, kami harus menggubah lagu untuk penyanyi terbaru agensi kami. Walau begitu, aku senang karena akan bertemu teman-temanku. Bagiku, mereka seperti obat bagi kehampaan jiwaku yang selama ini selalu membuatku kesulitan.

          Jay dan Alex bilang setelah pekerjaan selesai mereka ingin berkunjung ke rumahku. Dengan senang hati aku mengabulkan permintaan mereka. Tapi tiba-tiba, boss memberi mereka pekerjaan tambahan. Aku bisa maklum. Mungkin kunjungannya bisa mereka lakukan besok, atau lusa, atau lain hari, entahlah.

          Akhirnya aku terkubur dalam kesepianku lagi. Keberadaan orang-orang memang hal yang paling membantu dalam menyingkirkan kesedihan, namun aku masih punya gitar dan buku-buku. Ini juga sedikit menghilangkan kekecewaanku pada diriku sendiri, setidaknya aku mengetahui aku bisa melakukan sesuatu yang berguna.

 ***
          Suatu ketika, aku sedang memainkan sebuah alunan nada dengan gitarku, menatap langit-langit kamar sambil merancang lirik untuk laguku selanjutnya. Aku memerhatikan setiap hal kecil yang ada di kamarku. Mobil-mobilan, bantal, lemari. Ruangan ini seakan menyekapku dalam kesepian yang dalam. Aku merasa benar-benar menyedihkan.

          Kulihat semut-semut di lantai, mereka bekerja sama saling membantu membawa sisa-sisa makanan. Jumlahnya tidak begitu banyak, tapi sepertinya ada sebagian yang membuat lubang semut di tembokku. Mungkinkah semut itu berkeluarga seperti manusia? kurasa begitu, melihat kerjasama mereka, bahu membahu demi membawa sebuah makanan yang ukurannya tidak sebesar jari. Mereka saling membantu, mereka saling peduli. 

           Tanpa sadar aku jadi memperhatikan mereka. Aku cemburu tapi sekaligus ingin tertawa. Haha. Bahkan semutpun berpasang-pasangan. Mungkin mereka saling mencintai, membangun keluarga dan menghabiskan malam minggu dengan minum-minum bersama istri-isfri mereka. Betapa bahagianya. Sementara aku? Aku tidak bisa merasakan kehangatan itu. Aku bahkan dengan menyedihkan mencemburui sepasang semut. Dasar bodoh.

         Melihat semut-semut itu, aku jadi teringat semua sahabatku. Mereka saat ini sedang sibuk dengan karir mereka masing-masing. Aku sangat senang dan tentu mendukung mereka sepenuh hati, tapi di sisi lain aku seperti seorang egois yang menginginkan mereka untuk tidak terlalu sibuk dan menemaniku melewati kesendirian ini. Aku ingin mereka kembali, seperti dulu, tapi aku sadar, kehidupan ini tidaklah sama lagi. Setiap hal berubah, setiap hal berganti. Aku harus menerimanya.

         Banyak berpikir begini membuatku pusing juga mengantuk. Aku sering tertidur tanpa sengaja saat sedang membaca buku ataupun ketika merenung menatap langit-langit kamar. Suatu hari aku juga ingat kalau aku tertidur, lalu terbangun oleh gigitan seekor semut di bibirku. Aku langsung teringat akan koloni-koloninya, itu membuatku tidak ingin membunuhnya. Aku hanya melepaskannya dari bibirku dan meletakannya sembarangan. Semut ini harus kubebaskan.

***
          Pekerjaanku kuselesaikan dengan cepat. Kakak akan datang ke rumah hari ini. Aku sudah bergegas pulang, namun tak kutemui siapapun begitu aku sampai. Ini membuatku kesal, namun aku harus sabar. Kakak sedang berjuang bertahan bersama suaminya yang sakit jiwa hingga tidak mungkin punya banyak waktu untuk mengunjungiku. Aku hanya harus mengerti. Ya.

          Aku kembali ke kamar. Kutatap buku-buku lusuh yang kusimpan di ujung bantal. Mungkin aku akan membaca kembali buku berjudul 'Heaven' yang sebelumnya sudah kubaca tiga kali. Aku tidak tahu apalagi yang bisa membantuku menghindar dari lubang hitam dalam pikiranku yang seakan menghisapku masuk setiap saat. Buku ini akan sedikit membantu lagi, sepertinya.

          Belum sempat aku mendekat ke kasur untuk mengambil bukunya, entah bagaimana ada seekor kecoak terbalik di hadapanku. Fuh! Kamarku sudah seperti kandang serangga saja. Sebetulnya aku agak jijik dengan kecoak, tapi kurasa menjadi kecoak bukanlah pilihannya, mungkin jiwa yang ada dalam kecoak itu juga tidak menginginkannya. Aku tidak berhak merasa jijik padanya. Berbeda denganku, aku manusia yang bisa memilih, namun aku memilih menjadi pecundang dengan merengek kasih sayang pada kakak. Memalukan. Aku pantas mendapat hukuman.

          Kubantu kecoak itu membalikkan tubuhnya dengan tongkat sapu. Setelah terbalik, ia langsung berlari.

***
          Jay datang berkunjung kerumah. Dia muncul dengan celana pendek aneh dan rambutnya yang dicat abu terlihat berantakan. Tapi seperti biasa, dia datang dengan senyum lebar berteriak memanggilku seperti orang gila, padahal kita ada di tempat yang sama.

          Kami melakukan karaoke di kamarku, melepas penat dengan memutar lagu-lagu Michael Jackson yang legendaris. Sambil menatap jendela, kumainkan gitar dan kubiarkan Jay menyanyi sepuas hati, walau suaranya begitu sumbang. Jay bilang padaku untuk memainkan lagu favoritnya, 'Te Amo', yang diterjemahkan dari bahasa Spanyol berarti aku mencintaimu. Aku menurutinya saja. Kemudian kami saling bercerita dan membicarakan hal-hal konyol tapi menyenangkan, seperti biasanya.

          Jay tiba-tiba memutar lagu berbahasa mandarin yang aneh, lalu dia menyuruhku mencari arti dari lirik lagu yang dia play tadi.

          "Kau ini apa sih. Seperti wanita saja, menyelami lirik lagu begini." ujarku meledek Jay.

          "Jika syarat untuk menyelami lirik lagu ini adalah menjadi wanita, maka aku rela." Jay tersenyum penuh arti.

          "Woah.. sehebat itukah?" aku tidak percaya. Jay si anak yang 'gila' ini bisa menjadi begitu melankolis hanya karena sebuah lagu. Cukup mengejutkan, dan.. mengocok perut. :D

          Sambil tertawa meledek aku membaca lirik lagu mandarin itu.

          Oh..

          Tes

          "Hei! kau menangis?" Jay langsung menyadari aku sudah pada tahap ekspresi menyipitkan mata seperti pedih terkena bawang. "Ya Tuhan, jangan bercanda!" Jay langsung mengusap-usap punggungku dan mengelap pipiku dengan tisu yang entah dia ambil dari mana.

          Liriknya mengingatkanku pada Amily. Itu sebabnya.

* * *
          Satu tahun lalu aku putus dengan Amily. Dia meninggalkanku entah kemana. Dia bilang tidak tahan karena keluargaku menekannya, mengatakan bahwa ia tak pantas untuk aku. Aku benar-benar marah terutama pada ayahku yang melakukan intimidasi itu. Sejak itu aku tidak mau menemui ayah lagi, untuk selamanya.

          Sejak dulupun aku tidak pernah menyayangi pria itu, dia hanyalah seorang pengecut yang meninggalkan ibu, aku dan kakak di dalam kemiskinan. Setelah aku dan kakak besar lalu bisa menghasilkan uang banyak, dia tiba-tiba datang dan mengatur hidupku bahkan mencampuri urusanku dan kekasihku. Saat mengetahui itu rasanya aku ingin membunuhnya, tapi aku selalu tertahan dengan pikiran bahwa dia adalah ayah kandungku, walau kenyataan itu membuatku semakin marah. Terlebih lagi, ibuku yang terlalu baik hatinya, memohon padaku untuk membiarkan saja bekas suaminya itu pergi tanpa perlu ada adegan kekerasan terlebih dahulu. Bagaimanapun, amarahku tidak lebih besar dari rasa sayangku pada ibu. Aku menurutinya.

          Kepergian pria itu juga dibarengi dengan perginya Amily. Dia menghilang begitu saja bagai telah dikubur bumi. Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa hancurnya perasaanku, harus berpisah disaat perasaanku masih membuncah. Bagaimana bisa ketidakadilan ini terjadi padanya? dan bagaimana aku sebagai seorang pria bisa membiarkan orang yang kusayangi tersakiti sampai seperti ini? aku menanyakan pertanggungjawabanku sendiri sebagai seorang lelaki.

          Berkali-kali aku mencoba menenangkan diriku sendiri. Aku rasa tidak apa-apa untuk bersedih hari ini, esok hari pasti akan kembali cerah. Aku bukanlah robot yang harus memaksa diri untuk terus bahagia setiap hari. Namun nyatanya kemuramanku tak pernah usai. Langit gelap dan hujan badai seperti tak kunjung pergi. Di waktu-waktu ini, aku sangat membutuhkan ibu, namun Tuhan mengambilnya pada saat yang tidak tepat. Kurasa itulah yang membuatku merasa semakin tidak baik. Tapi aku berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa aku akan baik-baik saja. Aku, akan baik-baik saja.

***
          Kau tahu apa yang paling buruk dalam upaya menghadapi kesulitan ini? Orang-orang meremehkanku. Awalnya aku berpikir bahwa aku bodoh jika terus menyimpan segalanya sendiri, karena itu tidak membantu sama sekali. Tapi kenyataannya, setelah aku mencoba bercerita pada kakakku, ya, kakakku, orang yang tumbuh dan hidup bersama denganku selama 23 tahun lamanya, berujung pada perasaan yang menyakitkan. Dia berkata bahwa aku mengisolasi diri dengan perasaan-perasaan berlebihan yang tidak pantas untuk orang seusiaku. Dia berkata bahwa aku harus melihat orang-orang dibawah kami yang membutuhkan, yang hidup di kolong jembatan. Aku harus bersyukur. Jadi perasaan-perasaan itu harus kubunuh, katanya, tapi dia tidak memberitahuku bagaimana caranya.

          Oh, benarkah begitu? Hatiku pedih lagi. Sedangkal itukah pemikiranmu terhadapku kak? Kau pikir aku adalah seorang brengsek yang tidak tahu bersyukur? Kupikir kau adalah orang yang paling memahamiku karena kita pernah sama-sama tinggal di rahim ibu. Kupikir 23tahun kita bersama kau sudah hapal betul bagaimana diriku. Apakah bijak membandingkan hidup seseorang dengan hidup orang lainnya? Apakah setiap yang orang lalui selalu sama, sehingga begitu mudah kau banding-bandingkan?

          Cukup mengherankan saat aku mengritik habis-habisan sikap kakakku dalam hati, seolah aku tahu bagaimana sikapnya seharusnya menghadapi adik sepertiku. Padahal aku sendiri tidak tahu bagaimana mengatasi perasaan ini, disaat aku menuntut ia untuk melakukannya. Mungkin,ini salahku lagi.

***
          Berbulan-bulan aku tetap pada perasaan yang sama. Kutatap mobil-mobilan mainan di meja lampuku. Mobil-mobilan model Jeep itu telah melindas seekor semut pada saat gempa terjadi beberapa hari lalu, sebelum akhirnya kubebaskan. Sebentar lagi, aku juga akan bebas.

           Ya.

          Baiklah. Hari ini sudah mencapai limitnya. Rasanya semakin sesak saja setiap napas yang kuhirup. Setiap aku bernapas, semakin aku tercekik. Inti jiwaku sudah menerima bahwa aku memang tidak cukup baik, dan aku akan mengakhiri semua penderitaan ini. Aku tidak sanggup menahannya lagi. Kakak, kuharap kau mengerti. Dengan begini mungkin kau akan bisa lebih fokus mengurus suamimu dan kalian bisa hidup bahagia.

         "Kakak, aku harap kau selalu sehat. Aku sudah menuliskan seluruh hartaku atas namamu. Aku tidak perlu berpesan apapun karena aku tahu kau akan menggunakannya dengan bijak. Terimakasih kak, selamanya aku mencintaimu."

Salam."

* * *

0 komentar:

Posting Komentar