Cerpen : A Guy's Gaze (Tatapan Seorang Pria) (Chapter 1)



          "Kami pulangg!" aku dan Bill, anakku, datang membawa makanan yang cukup banyak untuk santapan keluarga kami. Istriku, Anna dan anak perempuanku, Rossy, menyambut kami dengan begitu gembira.

          "Sepertinya ayah dan Bill dapat jackpot!" seru Rossy semangat sambil tak henti menatap makanan yang kami bawa. Tanpa berlama-lama, kami menghidangkan makanan di meja makan dan melaksanakan santap malam. Rasanya bahagia sekali aku melihat wajah-wajah anak dan istriku berbinar bahagia dan dengan lahap memakan santapannya masing-masing. Sebagai seorang ayah, aku merasa berhasil.

          "Mark, dia memperhatikan kita lagi." ujar Anna tiba-tiba membuka pembicaraan. Aku tidak tahu bagaimana harus merespon. Aku sudah hapal betul siapa 'dia' yang Anna maksud.

          Sambil menghela napas, aku menjawab, "Baiklah, aku akan melihatnya selesai makan malam."

* * *
          Aku melihat dari balik pintu, orang itu. Dia terus menerus memperhatikan kami. Aku dan keluargaku memang memiliki mobilitas tinggi, kami setiap hari melewati dirinya yang selalu terpaku dengan tatapan nanar di ujung kursi. Tapi kurasa dia tidak pernah terganggu dengan aktivitas kami. Namun entah mengapa, tatapannya sering sekali tertuju padaku, Anna, Rossy dan Bill. Lama kelamaan aku agak khawatir, mungkinkah dia memiliki niat tertentu terhadap salah satu anggota keluargaku?

* * *
          Ayah dan Ibu sedang pergi. Bill juga. Mereka mungkin bekerja. Aku cukup merasa bosan ditinggal dirumah dengan setumpuk bacaan-bacaan yang harus kupelajari. Aku tidak suka buku-buku ini, aku suka musik, aku ingin menjadi pemusik. Tapi nampaknya orang tuaku sama sekali tidak mengetahui apa yang kusukai, mereka terlalu sibuk bekerja. Aku tidak mampu mengatakan kalau aku menginginkan sebuah gitar, karena hal itu pasti akan memberatkan mereka. Akhirnya, untuk memenuhi hasrat musikku ini, aku hanya bisa menontonnya, orang itu, yang sering terpaku di ujung kursi, dengan permainan gitar akustiknya yang betul-betul menawan.

           Entah sejak kapan dia bisa bermusik, namun yang jelas, setelah kepindahan keluargaku kesini, dia sudah seringkali memainkan musik. Alat musik lain yang dia mainkan, aku tidak terlalu tahu namanya, aku hanya mengingat bunyinya yang menenangkan jiwaku dalam kesendirian.

          Tapi berbeda denganku, selain menyukai musik, dia juga membaca buku. Aku malas sekali membaca buku, sedangkan dia menyukainya, itu bisa kulihat dengan tumpukan buku yang nampak lusuh diatas mejanya yang ia baca satu persatu setiap hari.       

          Ohya, orang itu sering melihat ke arah kami, padaku dan keluargaku. Aku tidak tahu apa yang membuatnya tertarik memperhatikan kami. Tapi, aku sih, senang-senang saja. Toh dia ganteng. Walau kadang membuatku kikuk, tapi aku suka tatapannya. Dia tampan. Ah! jangan-jangan, alasan dia terus-terusan melihat kemari, karena dia.. tertarik padaku?

* * *
          Hari ini Bill tidak bisa ikut bekerja denganku. Ia sedang sakit dan kubiarkan dia istirahat dirumah. Anna ikut bekerja, namun di lain tempat. Rossy membantunya, dan aku senang mendengar anak perempuan kecilku berinisiatif membantu ibunya bekerja.

          Aku kembali bekerja dengan semangat yang bertambah, mengingat keluargaku disana juga bekerja tak kenal lelah. Peluh mengalir bukanlah kendala, yang penting, bagiku, Anna dan anak-anakku bahagia.

* * *
         Sakit yang menderaku benar-benar membuatku terganggu. Bukan, bukan karena rasa tidak nyaman yang menyerang tubuhku, tapi aku lebih memikirkan penyesalanku karena tidak bisa membantu ayah bekerja. Aku tidak bisa berpindah tempat karena sakit ini. Aku hanya berbaring sambil menatap lemah ke luar jendela. Oh Tuhan, tolong cabutlah penyakit yang ada di tubuhku sekarang agar aku bisa kembali pergi membantu ayah yang sekarang pasti sedang kesusahan.

         Sambil merenung aku menatap keluar jendela. Betapa malunya aku, melihat ibu dan saudara perempuanku sedang bekerja diluar sana, bersusah payah demi kehidupan keluarga kami, sementara aku seperti sampah terbaring lemah disini. Ibu dan Rossy bekerja tidak terlalu jauh dari tempat kami tinggal, berbeda dengan ayah yang mengambil pekerjaan di tempat yang agak jauh. Aku bisa melihat setiap gerak-gerik mereka melalui jendela. Jelas sekali ibu berusaha sekuat tenaga mengangkat benda-benda berat itu, membuatku merasa semakin bersalah dengan penyakit ini. Tapi.. dimana Rossy?

         Mataku mencari-cari keberadaan adik perempuanku itu, seharusnya dia ada disana bersama ibu. Tapi, sosoknya tidak dapat kutemukan. Ah! itu dia. Tunggu, apa yang dia lakukan? aku.. benar-benar kaget. Dia.. sedang apa dia?

 * * *
         Ah, tampan sekali orang ini. Sial! seharusnya aku mengetahuinya dari dulu. Rasanya hati ini hampir meledak karena bisa berada pada jarak sedekat ini dengan wajahnya. Oh, kulitnya putih dan bersih. Bulu matanya tegas dan lurus namun tidak terlalu panjang. Hidung yang mancung membuatku ingin meluncur diatasnya. Bibirnya merah muda seperti warna gula-gula yang dibawa ayah pekan lalu untukku. Orang ini, benar-benar sempurna! ternyata inilah tampang asli orang yang selalu memperhatikanku dan keluargaku selama ini. Kenapa aku baru sadar?!

         Aku tidak bisa mengalihkan tatapanku dari wajahnya. Dia sedang tidur. Ini aman bagiku untuk terus memperhatikan wajahnya yang selama ini hanya bisa kulihat dari jauh. Bolehkah... jika aku menciumnya? rasanya ini kesempatan yang pas. Ya, tentu saja. Upayaku membujuk ibu untuk ikut bekerja bersamanya demi bisa lebih dekat dengan orang ini tidak bisa aku sia-siakan begitu saja. Aku.. akan.. menciumnya.

        Mmhh...

* * *
          Tidak terasa pekerjaanku selesai juga. Atasanku menghargai pekerjaanku dengan memberiku beberapa makanan yang kukira cukup untuk keluargaku hingga beberapa hari ke depan. Aku bergegas pulang ke rumah untuk segera memberikan gula-gula ini pada Rossy. Aku juga ingin tahu bagaimana keadaan Bill saat ini, kuharap dia berangsur membaik.

          Ketika hampir sampai di muka pintu, aku terperangah melihat Jack, tetanggaku yang sudah tua renta. Dia terbaring terlentang di jalanan seperti habis dihajar orang. Astaga! aku harus menolongnya! tapi.. orang itu, dia yang selalu memperhatikan keluargaku, ada beberapa langkah di hadapan Jack. Kukira dia baru datang entah dari mana, dia berjalan dan tidak menyadari Jack ada di hadapannya. Ba.. bagaimana ini? apa aku harus berteriak pada orang itu?

          Ah! syukurlah! sebelum aku mengeluarkan seluruh tenagaku untuk berteriak padanya, dia akhirnya menyadari keberadaan Jack yang kesusahan terbaring lemah di jalanan. Dia menatap Jack kosong, tas merah yang digandong sebelah dan dia genggam dengan tangan kanannya, dia ayunkan ke arah Jack. Astagaa!! apa dia akan memukul Jack dengan tasnya yang besar itu? aku tidak sanggup melihat Jack seakan dia akan dibunuh, mataku menyipit karena takut, tapi masih melihat ke arah mereka.

         Orang itu, dia tidak membanting tasnya pada Jack. Dia melempar tasnya ke kursinya. Dia mengambil tongkat di sebelah kursinya, lalu ia menjulurkan tongkatnya kepada Jack, membantu tubuhnya yang kepayahan untuk bangkit. Setelah mampu bangkit, Jack berlari begitu saja melihat orang yang telah membantunya untuk kembali kerumahnya yang tidak jauh dari rumahku. Dasar Jack. Sudah tua tapi tidak tahu berterimakasih. Lagipula, aku baru tahu kalau orang ini orang baik. Yang kutahu darinya, hanyalah rambut merah mudanya yang aneh dan kulitnya yang bersih karena mungkin sering dicuci.
Tak kusangka, anak muda ini baik juga.

* * *
          Anak muda itu, aku tidak tahu siapa namanya. Yang pasti, dia tinggal lebih dulu disini sebelum kami kesini. Malah, kami, aku dan keluargaku, juga Jack, seperti menumpang di wilayahnya. Dia sering keluar rumah dan teman-temannya yang berpostur besar acapkali datang berkunjung. Teman-temannya sama aneh dengannya, celananya memiliki lubang di area lututnya, persis seperti gelandangan yang sering kulihat di luar wilayah ini. Rambut teman-temannya pun beraneka warna, malah ada yang berwarna abu, seperti orang tua, namun dari wajahnya bisa kulihat kalau dia masih muda dan segar. Mungkin itu yang disebut penuaan dini?

           Mereka sangat berisik saat bersama, anak muda itu juga nampak begitu ceria dihadapan teman-temannya. tapi ia selalu membisu dikala dia sendirian. Dia hanya disibukkan dengan gitar dan buku-buku lusuhnya, juga, dengan sibuk memperhatikan kami. Aku tahu ada orang lain juga yang tinggal di wilayah ini, dialah seorang perempuan berambut hitam yang kadang mampir ke tempat anak muda itu. Dari komunikasi yang mereka lakukan, aku bisa tahu kalau perempuan itu adalah saudarinya. Tapi tidak seperti Rossy dan Bill, mereka tidak hidup bersama, bahkan cenderung jarang berjumpa. Mungkin itulah salah satu alasan anak muda itu selalu termenung sedih di kursi merahnya.

* * *
           Aku berusaha sekuat tenaga mengangkat makanan-makanan yang rencananya akan kubawa ke rumah untuk anak anakku. Bobotnya begitu berat, tidak cocok dengan tubuhku yang mulai menua. Aku tidak bisa meminta Bill ataupun Mark datang, karena itu hanya akan menyusahkan mereka. Rossy? rasanya dia terlalu muda untuk bekerja.

           Dalam kesulitanku, tiba-tiba aku merasakan getaran-getaran hebat yang entah darimana asalnya. Ah, aku tau getaran ini. Ini gempa bumi. Aku hampir saja berlari meninggalkan  makanan-makananku, tapi sebuah mobil yang tidak bernahkoda tiba-tiba saja melaju ke arahku dengan begitu cepat. Belum sempat aku menghindar, mobil itu menghantam tubuh rentaku, dan sebagian tubuhku berakhir dibawah roda-roda mobilnya yang keras. Aku bisa merasakan tubuhku, mobil ini tidak berat, tapi aku kesulitan menyingkirkannya dari tubuhku. Aku mencari-cari siapapun yang bisa membantuku tapi nyatanya tidak ada.

           Seseorang tiba-tiba saja datang, dia, pria muda yang sering memperhatikan kami. Dia mengangkat mobil itu begitu saja, seperti seorang ksatria membantu wanita tak berdaya. Aku tidak heran melihatnya, mengingat tubuh pria muda itu memang cukup besar dan kurasa lekukan-lekukan di tubuhnya itu adalah otot. Tapi daripada itu, aku sangat berterimakasih padanya karena telah menolongku, tanpa banyak bicara. Sebagai tanda terimakasihku, aku meninggalkan makanan-makananku untuknya. Setelah aku pergi, kulihat tangannya mengambil makananku untuk kemudian dia kepal erat dengan dua telapak tangannya.

           Dia orang baik.

 * * *
           "Aku pergi dulu, istriku." ucapku lembut pada istriku yang cantik, Anna. Aku mencium bibirnya pelan lalu pergi.

           Ah, anak muda itu memperhatikan kami lagi.

* * *
          Suatu hari, aku melihat anak muda itu berdiri cukup lama di sore hari yang mendung, dia memegang gunting di tangan kanannya. Dia tidak memperhatikan kami lagi seperti biasanya. Aku melihat dia terdiam sangat lama, tatapannya nanar. Entah kenapa aku jadi ingin memperhatikannya saat itu. Anak muda itu tiba-tiba menangis, tapi tak berekspresi. Air matanya mengalir begitu saja tanpa henti. Dia menyalakan sebuah lagu dengan bahasa aneh yang tak kumengerti, yang bisa kutangkap adalah, nadanya sangat suram dan sedih.

          Kemudian dia semakin menangis, kali ini wajahnya menunjukkan kesedihan yang amat dalam. Aku tidak tahu dia kenapa, tapi aku juga tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya bisa memperhatikan gerak-geriknya. Dia meletakkan gunting yang dia pegang sejak lama. Dia mengambil kertas dari tumpukan buku lusuhnya dan menggores-goreskan ujung pensilnya ke atas kertas. Entah menulis apa, aku tidak bisa membaca. Bukan karena letaknya tidak terjangkau oleh mataku, tapi aku memang tidak bisa membaca.

          Cukup lama ia menulis, mungkin berlembar-lembar. Aku bisa melihat, walau dari belakang, pemuda itu menangis sesenggukan. Bahunya terangkat cepat beberapa kali. Punggung tangannya basah menyeka air mata yang entah jatuh karena apa. Aku merasa iba, tapi sekali lagi, tidak bisa berbuat apa-apa.

         Dia akhirnya bangkit. Robekan kertas dua lembar yang penuh dengan tulisan ia genggam dan kemudian dilemparnya ke atas kursinya. Dia mengambil kembali gunting yang tadi, lalu menghadap ke jendela. Posisinya sekarang membelakangiku. Tangisnya yang tadi sudah reda terdengar membuncah kembali. Aku tidak bisa melepaskan pandanganku darinya. Kebaikan yang ia lakukan beberapa hari lalu terhadap Jack, membuatku ingin sedikit lebih peduli padanya. Tapi dalam keadaan begini, tetap saja aku tidak bisa apa-apa. Aku tetap disini di pintu rumahku dan dia si pemuda baik hati itu tetap menangis sedih menghadap jendela.

           BRUKK

           Baru saja aku melamun sebentar, pemuda itu tiba-tiba jatuh terkapar. Dia.. dia sakit? gunting yang digenggamnya terlempar entah ke arah mana. Aku.. benar-benar shock. Kulihat ia terbaring dan tidak bergerak. Aku tidak tahu kalau dia punya riwayat penyakit tertentu sebelumnya. Mungkin dia sesak napas lalu pingsan? yang jelas aku tetap tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya berharap saudari perempuannya itu segera datang, agar jika memang benar pemuda itu terkapar karena penyakit yang dia derita, dia bisa segera ditangani oleh siapapun yang tepat.

          Cukup lama aku terdiam disitu, sembari berkeringat hebat melihat anak muda itu tak bangun-bangun juga. Rasanya aku ingin memanggil seluruh warga wilayah ini untuk membawanya ke pengobatan. Tapi yang ada di wilayah ini hanyalah si Jack tua dan beberapa maniak bertubuh besar yang selalu membuatku takut. Sekali lagi, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Anna dan anak-anakku juga melihat pemuda itu terkapar, tapi mereka hanya bisa terpaku. Aku berdoa sekuat tenaga kepada Tuhan agar Ia mengirim seseorang kemari untuk menyelamatkan pemuda baik hati itu.

          Doaku terkabul. Saudari perempuannya datang sambil menangis-nangis dan mengatakan bahasa yang tak kumengerti. Tangannya menggoyang-goyangkan tubuh pemuda itu dan memintanya untuk bangun. Tak lama, beberapa orang yang memakai pakaian serupa dengan jumlah agak banyak, memboyong tubuh pemuda itu pergi, kurasa ke tempat pengobatan, hingga akhirnya mereka berlalu dan aku tidak bisa melihat mereka lagi.

 * * *

          Beberapa hari, hampir satu minggu, pemuda itu tidak kembali ke wilayah ini. Kurasa dia tidak pindah, karena barang-barangnya masih tetap ada disana, di sebrang rumahku, dengan posisi yang sama sekali tidak berubah sejak ia dibawa pergi beberapa hari lalu.
       
          Tak kusangka, aku merasa kehilangan. Pemuda yang setiap hari memperhatikan kami sejak kepindahan kami kesini, tidak berada lagi di tempat yang sama dengan kami. Tak kusangka juga, Rossy menangisi pemuda itu. Anna nampak mengkhawatirkannya, dia bilang pemuda itu orang baik. Bill tidak bereaksi, dia hanya terlihat kesal pada Rossy yang menurutnya menangis berlebihan.

* * *
          Beberapa bulan berlalu. Aku masih bekerja keras untuk kehidupan keluargaku. Pemuda itu tak pernah kembali. Juga saudari perempuannya. Aku tidak hanya kehilangan, aku benar-benar sedih. Tempat ini menjadi semakin sepi. Jack menghilang entah kemana. Walaupun dia tua, kaki-kakinya bergerak lebih cepat daripada kami. Mungkin dia kabur ke antah berantah, mencari istri lagi.

          Satu minggu dua hari setelah perginya pemuda itu, temannya yang berambut abu sempat datang ke wilayah kami. Dia hanya terdiam dengan wajah datar, mengambil beberapa barang pemuda itu, kemudian dia pergi lagi dan tak pernah kembali.

* * *

          Karena lingkungan itu semakin sepi, aku memutuskan membawa keluargaku pergi dari tempat itu. Kami sama-sama mencari lingkungan yang memiliki lebih banyak warga. Itu juga kulakukan agar Rossy bisa melupakan pemuda itu, yang tak berhenti ia tangisi setiap hari. Pemuda itu tidak pernah kembali, setelah setahun lalu aku terakhir melihat tubuh lemahnya dibawa pergi orang-orang berseragam itu.

          Satu yang kusesali, adalah mengapa aku tidak mencoba lebih dekat dengannya, dan mengapa aku tidak bisa membantunya sama sekali saat ia pertama kali terkapar saat itu.

          Pemuda, maafkan aku.
* * *

BACA : Chapter 2 >>Bahagianya Menjadi Serangga

0 komentar:

Posting Komentar